KETIKA KAU PERCAYA TUHAN TAPI TIDAK MENCERITAKAN IMANMU
The Christian Atheis
by Craig Groeschel
Bertahun-tahun yang lalu aku menerima telepon dari seorang anggota jemaat yang menerangkan bahwa ayahnya , Frank sudah sekarat. Ia (Frank) sesekali menghadiri gereja kami bersama anaknya, tapi ia tidak percaya Kristus dan bersikap skeptis terhdap semua pendeta. Anak wanitanya yang prihatin bertanya jika aku mau mengunjunginya di rumah sakit untuk menjelaskan Injil sehingga ayahnya bisa memiliki kesempatan terakhir untuk mengenal Kristus sebelum ia meninggal dunia.
Kunjungan-kunjungan ke rumah sakit selalu membuatku tidak nyaman. Beberapa pendeta kelihatannya secara alamiah tahu apa yang harus dikatakan. Mereka merangkul setiap orang dalam ruangan, dan setelah kunjungan mereka, bahkan situasi yang mengerikan kelihatan lebih cerah. Lebih parahnya lagi, entah akibatnya baik maupun buruk, aku hampir selalu mengatakan apa yang sedang kupikirkan. Aku telah belajar dengan cara yang keras untuk tidak mengatakan apa yang sedang kupikirkan.
Sambil berjalan sepanjang lorong yang steril dan panjang, aku sekilas melihat ke dalam setiap kamar dan bertanya-tanya dalam hati tentang para pasien. Beberapa akan sembuh dan kembali ke kehidupan mereka, sementara yang lainnya tidak aka n pernah mennggalkan bangunan ini. Ketika aku melihat Frank, kulitnya kelihatan kuning mematikan, sementara ia berbaring di tempat tidurnya. Bahkan jika TUhan menunjukkan mujizat, Frank, berumur delapan puluh dua, tidak punya banyak tahun-ahun yang tersisa untuk hidup. Ketika ia mendengarku memasuki kamat, Frank bangkit dan kelihatan senang menerima kunjungan, meskipun yang berkunjung adalah seorang pedeta.
Karena tidak mau langsung masuk seperti tipikal pengkotbah berapi-api dan meledak-ledak, aku mencari kesempatan untuk membelokkan pembicaraan ke hal-hal rohani. Kami membicaraakan tim football favoritnya, cucunya yang bermain dalam tim baseball kampus sebagai mahsiswa tingkat dua. Momen sempurna untuk mengalihkan pembicaraan tidak datang-datang. Aku memutuskan untuk tidak memaksakannya. Aku memberitahu diriku bahwa aku sudah membangun hubunganyang lebih baik dengannya dan akan datang di hari berikutnya untuk berbicara dengannya tentang Kristus dan kekekalan.
Pagi berikutnya ketika aku berjalan di lorong suram yang sama, aku merasakan ketidaknyamanan yang sudahku kenal. Ketika aku berbelok untuk memasuki kamarnya, aku tidak bisa melihat Frank karena kamarnya penuh orang. Seketika aku tahu apa yang baru saja terjadi. Beberapa saat sebelum aku tiba, Frank telah meninggal dunia, dan seluruh keluarganya telah berkumpul untuk mengucapkan selamat tinggal. Aku sulit bernafas. Tubuh Frank mungkin masih hangat, tapi tiba-tiba aku merasa dingin dengan kekecewaan terhadap diriku sendiri. Aku merasa malu karena aku telah kehilangan kesempatan untuk memberi dampak pada kehidupan kekal Frank. Aku percaya bahwa Kristus adalah satu-satunya jalan untuk ke surga, tapi aku gagal untuk berbagi tentang Kristus kepada pria yang sedang berada di pintu kematian.
Kata Evangelism (penginjilan) berasal dari sebuah kata bahasa Yunani evangelizo yang, artinya menyerukan atau membagikan kabar baik". Jadi membagikan Injil berarti membagikan kata-kata yang baik atau kabar baik tentang Yesus. Bagi mereka yang tidak percaya kepada Kristus, penginjilan seringkali membangkitkan sikap skeptis, antipati, ketakutan atau kemarahan. Bagi banyak orang yang mengaku dirina Kristen, kata kata ini seringkali memancing perasaan takut dan bersalah. Sebagaimana yang diilustrasikan oleh pengalamanku dengan Frank, orang-orang Kristen Ateis tahu mereka seharusnya membagikan iman mereka, tapi mereka biasanya tidak melakukan itu karena emosi-emosi tersebut.